Selasa, 09 Februari 2010
Nonton Bareng
Selasa, 28 Juli 2009
Jadwal Acara Bulan Agustus 2009
Komunitas Musik "CHAOS"
Jumat, 7Agst 2009, pk. 19.30 wib
Gelar Ludruk dengan cerita: Si Buta Merana
Minggu, 9 Agst 2009, pk. 09.00 wib
Parade Band & Dance Merah Putih
Jumat, 14 Agst 2009, pk. 19.30 wib
Gelar Wayang Orang Dengan Cerita: Janoko Dadi Reco
Minggu, 16 Agst 2009, pk. 13.00 wib
-Komunitas OI
-Parade Band " Blue Indie Community"
Jumat, 21 Agst 2009, pk. 19.30 wib
Gelar Ketoprak dengan Cerita: RATU KIDUL KEMBAR
Jumat, 28 Agst 2009, pk. 19.30 wib
Gelar Musik dan Komedi Srimulat dengan cerita: SRIKANDI PERBATASAN
Ket: Semua Acara Diselenggarakan di UPTD THR Jl. Kusuma Bangsa 116-118 ( belakang hi tech mall) Surabaya
Info: Kantor UPTD THR (031) 5483085- Jam Kerja
Cp: Cak Tri: (031) 70814762/08121631960
Senin, 06 April 2009
PENTINGNYA REGENERASI SENI TRADISI
Tradisi diibaratkan sebagai sebuah proses berkelanjutan, karena tradisi itu terjadi karena adanya sebuah proses kehidupan dari waktu ke waktu, dari kejadian sebelumnya dan terus terjadi hingga saat ini.
Konon berbagai tata cara berkehidupan dikondisikan oleh seseorang yang dianggap menjadi panutan dalam sebuah kehidupan komunitas masyarakat, tata cara tersebut mengalir bersama proses kehidupan masyarakat itu sendiri, masing-masing anggota masyarakat juga memberikan andil yang cukup berarti, meskipun boleh dikatakan tidak sangat menonjol, tetapi cukup bepengaruh untuk mewujudkan sebuah perubahan, oleh karenanya diberbagai tradisi masyarakat seringkali kita jumpai perbedaan-perbedaan kecil, tetapi tetap berbeda, sehingga menghasilkan sebuah karya komunitas yang berbeda pula.
Hal ini dapat kita jumpai dalam tradisi cocok tanam, tradisi mendirikan rumah, tradisi upacara mudun lemah bagi bayi, dan masih banyak lagi bentuk-bentuk tradisi komunitas masyarakat yang mencerminkan kemerdekaan dan kreatifitas.
Dalam konteks kesenian bisa disimak dalam berbagai perbedaan antara garap seni tradisi yang satu dengan garap seni tradisi serupa ditempat lain atau oleh komunitas seniman lain, contoh kongkritnya misalnya adanya tari ngremo Surabaya, ngremo jombang, ngremomalangan, ngremo madura, padahal kalau disimak lebih dalam, di Surabaya saja masih banyak gaya tari Ngremo yang antara seniman penari Ngremo yang satu dengan lainnya terdapat kekhasan, misalnya tari ngremonya cak Tubi, tari ngremonya cak Munali Fatah, tari ngremonya cak adenan dan masih banyak penari ngremo Surabaya yang masing-masing dengan gaya pribadinya menjadikan Tari Ngremo kaya keindahan.
Demikian pula yang terjadi pada Sandiwara Ludruk, Ketoprak, Wayang wong, Wayang Purwo Jawa Timuran, tandhakan, cokekan, Jaranan dan masih banyak tradisi-tradisi kesenian rakyat yang berkembang dalam keanekaragaman.
Menyimak kondisi seperti tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa tradisi kita tidak mandeg alias berkembang terus mengikuti tingkat emosional kesenimanannya.
Banyak orang berkata bahwa tradisi itu tidak bisa lepas dari pakem, padahal pakem itu yang bikin juga manusia, sedangkan manusia satu dengan yang lain tentu tidak bisa sama, masing-masing mempunyai kepekaan emosional yang sangat ditentukan oleh waktu, lingkungan, kebiasaan dan pergaulan.
Proses waktu yang mengalir terus mengikuti perputaran planet bumi-bulan dan matahari merupakan kekuatan magnetis yang sedikti banyak mempengaruhi sifat manusia, oleh karena itu dalam budaya jawa mengenal naga dina, naga tahun, dan pasaran. Orang yang lahir pada Selasa kliwon akan berbeda dengan yang lahir pada Selasa pahing dan seterusnya, demikian pula kondisi temporer setiap detik, setiap jam, setiap waktu bahkan setiap harinya tentu akan terpengaruh oleh situasi putaran planet bumi, karena dalam setiap posisi plane akan membiaskan getaran yang berbeda-beda, dan getaran tersebut akan mempengaruhi kondisi setiap insane manusia bahkan setiap machluk hidup.
Tri Broto Ws.
Gongseng Edisi I / Bulan April 2009
AMITSEWU (= permisi =)
Menyimak lahirnya ide tentang info budaya “Gongseng”, berawal dari jagongan ngalor ngidul bersama cak Kris reporter RRI Surabaya di kantor UPTD THR. Ngrasani Suroboyo kuto metropolis tapi gak duwe pusat kesenian sing mampu mewadahi potensi kesenian arek-arek Suroboyo.
Ketika sebuah organizer mencari potensi karya seni , dengan gagapnya nara sumber mencari-cari siapa yang pantas, padahal Suroboyo iki gudange kreator, hanya karena karyanya tak pernah digelar alias sulit mendapat dukungan fasilitas, jadi karyanya tak terdeteksi, maka dianggap saja tidak ada, laopo angel-angel mikir, paling-paling debat kusir barek koncone dewe.
Jadi jawabannya, Surabaya perlu pusat kesenian, sementara Taman Hiburan Rakyat yang posisinya di belakang Hi-Tech Mall selama ini memang seperti orang tidur yang selalu minta makan. Apalagi kalau kita berbicara tentang investasi sebagai taman hiburan malah tidak ada apa-apanya. Ngapain tidak dibuat Kampung Seni saja, karena dengan adanya kampung seni maka azas kemanfaatannya dapat berubah, lebih efektif dan efisien, karena arek-arek dapat beraktifitas seni di Kampung Seni THR, maka dengan begitu potensi Suroboyo akan lebih mengedepan dan peran Pemerintah Kota Surabaya akan lebih nampak dukungannya terhadap kehidupan seni masyarat ( iki gak ngecap lho rek ! ).
Tetapi yang penting jangan lupa bahwa brand image ketradisiannya memang harus dipertahankan, bukan berarti fanatic lho…… karena yang non tradisi alias modern/kontemporer/seni alternatif juga merupakan bagian dari potensi Suroboyo, mulane ayo rek rame-rame berkesenian nang Kampung Seni THR Suroboyo.
Untuk menopang laju perkembangan Kampung Seni diperlukan sebuah media informasi public, meskipun tidak ada anggaran untuk itu, tetapi media ini penting agar keberadaan Kampung Seni akan lebih lekat dengan sebuah perubahan yang sedang diupayakan, dan yang penting dapat menjadi kajian dari waktu ke waktu dan sekaligus info budaya ini dapat dimanfaatkan untuk mengisi majalah dinding di sekolah-sekolah, agar para siswa juga dapat membuka cakrawala budayanya, maka lahirlah INFO BUDAYA “GONGSENG” , jarene sing nggawe : “ MENITI MASA DEPAN KAMPUNG SENI THR SUROBOYO “ ……… Tergantung yok opo sampeyan kabeh !!!!
Jangkrik ngerik golek upo, masiyo gak duwe duwik, tapi isok makaryo (opo jare donature, ha..ha..ha..ha) *cak Besut - kamituwo kampungseni thr*
OBROLANE WAK SEMAR
Gongseng kemrincing,
Sing nggawe Joko Sambang
Miline banyu bening
Nguripi wong sak kademangan
Jadi begitulah gongseng yang menjadi salah satu atribut penting bagi kebanyakan seni tradisi di Jawa Timur, opomaneh tari Ngremo, nek gak onok gongsenge, gak siiiip.
Kalau info budaya ini berjudul Gongseng, tidaklah mengherankan, karena secara tersirat, filosofi gongseng itu
Melalui gongseng inilah kehidupan seni itu digetarkan, supaya kesenian tersebut lebih semarak dan memasyarakat. Karena kesenian itu sangat penting untuk membangun badan dan jiwa bagi insane berbudaya, seetidaknya melalui info budaya “Gongseng” ini, informasi tentang kampung seni akan melengkapi kehidupan
SENI TRADISI
= MEDIA PEMBELAJARAN INSAN BERBUDAYA =
Menggairahkan kembali spirit kehidupan seni tradisi merupakan hal yang luar biasa dapat dilakukan, karena tradisi dapat diibaratkan seperti sesuatu yang penting tetapi kurang dipedulikan.
Keberadaan komunitas seni tradisi yang ada di kampung seni THR Surabaya sampai saat ini mereka dengan gigihnya berupaya agar seni tradisi mereka masih bisa bertahan, karena penikmat atau penonton yang masih gemar menyaksikan tontonan tradisi di kampung seni thr masih dapat dikatakan luar biasa, minimal paling sepi ada 75 – 100 penonton dari anak-anak – remaja hingga orang tua.
Seni tradisi pada umumnya berhubungan dengan faham nilai kehidupan sehari-hari, tidak secara langsung mengatur tentang sikap, prilaku maupun tata krama (unggah-ungguh/sopan santun).
Tradisi kesenian kita merupakan bagian dari seni tradisi yang melekat dengan kehidupan budaya tradisi masyarakat kita, jadi seni tradisi sangat penting untuk diteladani sebagai salah satu filter dari pengaruh budaya asing yang negative dan sekligus sebagai sumber kreatifitas dalam menyikapi perkembangan seni tradisi kedepan.
Sejak bulan Januari 2008 ketika kamituwo “Cak Besut” berupaya mencari solusi, para komunitas seni tradisi yang ada di kampung seni thr (Ludruk, wayang wong, ketoprak, campursari) bermusyawarah untuk bersama-sama berkomitmen membangun kembali keberadaan seni tradisi di kota Surabaya yang megah ini.
Anggota Srimulat yang berserakan telah dihimpun kembali untuk membuka lembaran baru dari kespesifikan Komedi Srimulat di Surabaya.
Saat ini mereka semuanya (kelompok Ludruk, Ketoprak, Wayang Wong, Srimulat, Campursari telah bersepakat untuk main setiap hari Jumat secara bergantian.
Dengan keberadaan program kegiatan yang teratur tersebut, diharapkan pengembangan dan peningkatan teknis akan mengalami perubahan makin baik.
Tontonan ini sangat pantas untuk ditonton/di apresiasi oleh para generasi remaja, para pelajar dan Mahasiswa sebagai bagian dari apresiasi seni dan budaya.
Bagi pelajar SMP-SMA/K muatan nilai yang ada pada seni tradisi dapat menjadi wacana seni dan budaya yang melengkapi proses pembelajaran seni dan budaya sesuai kurikulum ktsp di sekolah. (*Paman Jamino*)
Ludruk merupakan salah satu teater tradisional yang mewarnai Taman Hiburan Rakyat sejak tahun 1950-an. Karena pada waktu itu Sandiwara Ludruk masih marak main di kampung-kampung dan nobong (pentas keliling) di berbagai lapangan di Surabaya.
Ludruk yang pernah dimanfaatkan oleh Cak Durasim sebagai media pergerakan melawan penjajahan yang sangat terkenal pada kidungan berbunyi : Pegupon omahe doro, melok Nipon awak tambah sengsoro, menjadikan Ludruk makin populer dan mendewasakan
KEMESRAAN 4 MATA
Beberapa waktu yang lalu, hari Senin legi tanggal 19 Maret 2009 bertepatan dengan hari Nyepi, Paman Jamino dan Besut bermesaraan empat mata di halaman Kampung Seni THR Suroboyo, sambil meneguk kopi cangkir dan menghisap udut yang diberi kyai Jenut mereka melempar senyum kecil dan saling pandang .
Maaaaan…Jamino Man (besut menyapa Paman Jamino dengan nada panjang dan manja), nek isa tak leboni parikan, kedung barok kampunge rungkut man, sopo sing nggaruk bakal kesekut.
Iya iya sut, (paman Jamino menanggapi sapaan Besut), Wader pari singiden ndik galengan sut, mulane nek mlaku sing ati-ati cik gak kecemplung ndik jublangan.
Maaaaan….Jamino man, besut menyapa kembali dol tinuku obrolan. Nek tak pikir-pikir man, jaman sak iki jamane kemajuan, seni tradisi
Besuuuuut……. Paman jamino kembali menanggapi sapaan besut. Kok cike sut, seni tradisi dipulasara, rika gak kelingan pesene mbah citra, iku ngono saking pinter-pintere wong manca ngapusi bangsa kita, supaya wong
Oalah Man, ngono tah….., tapi onok maneh sing komentar nek gak isa ngetutna gayane wong mancanegara iku gak modern man.
Besuut….. pancane jamane wis salah kaprah, modern iku sakjane duduk niru gaya mancanegara, pancene modernisasi dimulai teka Barat barek Eropa, tapi sing bener iku gak niru gayane, tapi niru konsepe, konsep modernisasi iku lak nggolek alternative pengembangan supaya barang sing lawas tetep isa digawe dadi anyar maneh, lah supaya isa dadi anyar maneh kudu nganggo sarana proses kreatif, dadi modernisasi iku saktemene ngupaya yok opo carane proses kreatif iku isa mili, ibarate iline banyu gunung ngileni sawah-sawah.
Iya…. iya Man, aku sarujuk barek penemu rika, mulane ayok padha ndonga, muga-muga para kadang Nusantara iki, utamaane arek Suroboyo mangerteni kahanan lan apa sejatine sing kudu diayahi…….. tuku permen nang pasar keputran, kampung seni thr man, panggonane arek-arek berkesenian *makde*.
MENGAPA KAMPUNG SENI
Kampung seni bukanlah semata-mata diartikan sebagai perkampungan yang kemudian bebas untuk tempat tinggal, tetapi filosofi perkampungan artinya adalah sebuah areal yang digunakan sebagai tempat mangkalnya sekelompok manusia yang sedang menyelenggarakan aktifitas seni dan budaya.
Secara ideal kegiatan yang ada di kampung seni, antara lain : pelatihan seni, proses kreatif (proses penggarapan seni), pamer produk karya seni, pertunjukan seni.
Kampung seni dikondisikan sebagai salah satu bentuk fasilitasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya untuk mengedepankan potensi berkesenian bagi masyarakat
Melalui kampung seni ini diharapkan muncul berbagai aktifitas kesenian yang positif dan mempunyai manfaat yang besar terhadap kehdupan generasi pada saat ini dan untuk menyapa hari depan.
Dengan mengedepankan nama kampung bukan berarti memberikan kesan kampungan yang negative, tetapi lebih dari itu pemaknaan kampung diartikan sebagai sebuah identitas spiritual kampungan yang bersahabat, gotongroyong, bekerjasama , sayek saekapraya, (ojok diartekno grudukan tawurane lho rek, tapi gemrudug bebarengan nyambut karyo, supoyo hasile bisa dimanfaatna kanggo bangsa lan Negara.
Nilai sebuah kampung dalam era globalisasi saat ini masih tetap diperlukan karena identitas kampung dapat menjadi karakteristik komunitas masyarakat yang mempunyai brand image dengan pendekatan social budaya yang sangat menakjubkan.
Masyarakat kampung dengan filosofinya tonggo tunggal gedeg bisa diibaratkan meskipun orang lain tetapi seperti sudara sendiri.
Secara moral kita memang perlu mengubah nilai-nilai yang negative dalam image kampungan tersebut menjadi sesuatu kekuatan yang luar biasa. *Cak Besut *
Selasa, 24 Maret 2009
KIAT MENGHIDUPKAN THR SURABAYA
· perlu membuat ‘kampoeng seni’ thr surabaya
· perlu sinergi pengelola dan komunitas-komunitas kesenian se jatim
· pertunjukan seni tradisi (ludruk, srimulat, wayang, ketoprak) secara kontinyu
Mengkondisikan Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya agar dapat hidup kembali perlu adanya kiat. dan terobosan yang mampu mendobrak kondisi yang ada. Kalau dicermati tata letak dan kondisi saat ini, maka pertama-tama yang perlu dibedah adalah brand image-nya. THR Surabaya yang konon sebagai Taman Hiburan Rakyat di era tahun 1960-an, tentu saja tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi saat ini, tempat itu sudah tidak cocok lagi menjadi taman hiburan, tetapi akan lebih berhasil bila mengedepankan sebuah aktivitas seni dan budaya. Sedangkan kegiatan seni dan budaya itu sendiri juga mengandung unsur hiburan. Dan sangat kebetulan sekali bahwa Kota Surabaya sebagai kota metropolis belum mempunyai pusat kebudayaan, atau “kampoeng seni”, hal ini sangat penting karena pembangunan rohani, sikap, mental dan prilaku berbudaya melalui kesenian juga merupakan penyeimbang pembangunan pada sektor non-fisik yang patut menjadi catatan penting dalam pembangunan kota ini yang secara fisik sudah cukup berlimpah.
Secara simple, pemikiran terhadap upaya menghidupkan “kampoeng seni” THR Surabaya ini sangat tidak sulit, pertama-tama yang sangat penting adalah adanya komitmen dan keinginan untuk maju bersama antara pihak pengelola, dan komunitas kesenian, sebagai bagian dari kehidupan kota Surabaya. Kedua adalah adanya kegiatan pertunjukan yang bersifat regular, yaitu Ludruk, Wayang, Ketoprak, Srimulat, yang merupakan produk bersejarah yang menjadikan ciri pusat kesenian. Bila kegiatannya diselenggarakan sekali dalam satu minggu, maka dalam satu tahun ada 54 kegiatan pertunjukan seni tradisi yang disubsidi oleh Pemerintah Daerah. Akan lebih hebat apabila berbagai kegiatan kesenian lainnya seperti: sastra/geguritan, seni rupa/lukis, musik/karawitan, juga terfasilitasi meskipun diprogram secara insidentil, tetapi harus jelas capaiannya. Melalui ini semua akan mengkondisikan arek Surabaya untuk dapatnya berkreasi dan berapresiasi seni mengeksplorasi keindahan sebagai salah satu wujud pengalaman batin. Apabila kerangka dasar “kampoeng seni” samacam ini dapat berjalan, maka Kota Surabaya akan menjadi sangat hebat, jika tak boleh dikatakan sebagai ‘dahsyat’.
Sebenarnya potensi kesenimanan di Surabaya ini sangat luar biasa, sayang mereka selama ini tidak terfasilitasi, secara moral maupun finansial. Oleh karena itu apabila Surabaya dapat mewujudkan “kampoeng seni” sebagai salah satu tempat mangkalnya para warga Surabaya untuk berkesenian. Hal ini adalah hal yang patut diperjuangkan, disadari bersama, dan dipahami secara mendalam atas realita kebutuhannya. Untuk penerapan strategi ini memang diperlukan wawasan budaya yang mengacu pada kepentingan pembangunan masyarakat berbudaya yang lebih ke depan. Prospek apa yang bisa diberikan kepada
masyarakat ditengah-tengah pembangunan ekonomi yang terus menukik ini, tidak lain adalah sebuah harapan, cita-cita di sektor seni dan budaya yang mampu membuka peluang bagi masyarakat untuk dapat menikmati pembangunan keindahan.
Sejak Januari 2008, kerjasama dengan berbagai komunitas telah dijalin dan beberapa komunitas di antaranya telah mewujudkan action-nya, antara lain : komunitas musik indie “Surabaya Bergerak” oleh Nendi, komunitas musik indie “Trendy Bangsat” oleh Effendi, Latihan Bersama Musik Band “Lentera United”, Forum Sastra Bersama Surabaya oleh Aming Aminoedhin, komunitas dance-street, latihan tari oleh Si Wrahat Nala, latihan melukis oleh Sanggar Palem, latihan burung berkicau oleh Komunitas Suramadu, Komunitas oi (orang Indonesia), maupun komunitas musik perkusi.
Wajah baru di tahun 2009 yang akan masuk lagi sedang dalam persiapan adalah kelompok tari Take d’Dance, Perguruan Pencaksilat “Perisai Diri”..
Karena pertunjukan seni tradisi ini memang sangat memerlukan perhatian khusus dalam upaya pelestarian dan pengembangannya. Karena sejak Januari 2008 tontonan tradisi tersebut rata-rata menyerap penonton minimal 100 orang, tidak benar bila ada pihak yang meng-issue-kan bahwa pertunjukan seni tradisi di THR hanya ditonton oleh tujuh orang. yaitu komunitas dari dalam THR sendiri. Padahal yang benar di antara penonton tersebut, mereka ada yang rumahnya di Mojokerto, Krian, dan Sidoarjo. Sementara itu para seniman juga kami harapkan mengadakan regenerasi, agar kelak tradisi kesenian mereka tetap dapat dipertahankan dan menjadi sumber inspirasi dalam proses kreatif.
Dengan demikian untuk mewujudkan THR Surabaya sebagai “kampoeng seni” yang mempunyai karakteristik tersendiri, memang memerlukan pendekatan budaya yang lebih konsisten, pemikiran yang positif dan upaya maksimal, terutama pendekatan nuansa ketradisian yang lebih kental. Sehingga dapat mewujudkan pusat-pusat kesenian di Surabaya yang bermacam ragamnya, di THR Surabaya lebih didominasi oleh nuansa ketradisiannya, di Balai Pemuda didominasi oleh nuansa kesenian showbiz, di Pantai Kenjeran didominasi oleh nuansa pantai, di kompleks masjid Ampel didominasi oleh nuansa religi Islami, di Taman Prestasi ada wisata perahu. Kalau pendekatan keragaman dan spesifikasi budaya seperti ini dapat terkondisi, maka hal itu, baru dapat dikatakan Surabaya memiliki kekayaan objek wisata yang beragam. Bukankah hal ini akan menjadi luar biasa. Dahsyat barangkali?
